Selasa, 11 November 2008

Legenda Asal Suku Bulungan

Legenda yang berkembang di Bulungan, mengisahkan asal muasal suku Bulungan dari sepotong bambu atau bulu tengon dan sebiji telor yang ditemukan oleh seorang tetua desa yang bernama Ku Anyi yang saat itu meski sudah tua ia bersama isterinya belum juga dikaruniai anak.
Bambu dan telor tersebut ditemukan saat ia sedang berburu di hutan, tepatnya di atas pohon jemlai.. Bulu tengon dan telor tersebut dibawa pulang.

Keesokan harinya, bulu tengon berubah wujud menjadi bayi laki-laki dan telur berubah menjadi sosok bayi perempuan yang cantik. Bayi laki-laki diberi nama Jau Iru dan perempuannya diberi nama Lemlaisuri . Setelah keduanya dewasa berdasarkan wangsit yang diterima oleh ku anyi dan isterinya kemudian kedua makhluk tadi dikawinkan.
Setelah Ku Anyi wafat, Jau Iru oleh masyarakatnya didaulat menjadi pemimpin mereka yang baru. Pernikahan keduanya tadi melahirkan anak bernama Paren Jau , yang kemudian menggantikan posisi ayahnya setelah sang ayah wafat. Perkembangan selanjutnya paren jau digantikan oleh anaknya yang bernama Paren Anyi , yang kemudian digantikan pula oleh puterinya yang bernama Lahai Bara yang pekuburannya ada di desa Long Pelban Kecamatan Peso.
Lahai Bara mempunyai dua orang anak, anak laki-laki bernama Sadang dan perempuannya bernama Asung Luwan . Sadang tewas saat desanya mendapat penyerangan oleh suku kenyah dari serawak pimpinan Sumbang Lawing . Asung luwan melarikan diri ke pedesaan di hilir sungai kayan yang kemudian bertemu dengan Datu Mencang , seorang perantauan dari Kerajaan Brunei yang mencari tanah baru untuk membangun kerajaannya.
Perpaduan kedua anak manusia yang berbeda jenis ini melahirkan benih-benih cinta, namun Asung Luwan memberi syarat kepada Datu Mencang sebelum menikahinya agar terlebih dahulu mengalahkan Sumbang Lawing . Sesuai syarat yang diajukan, dalam sebuah pertarungan adu ketangkasan pada akhirnya sumbang lawing berhasil dikalahkan. Kemudian Datu Mencang dan Asung Luwan pun bisa melangsungkan pernikahan, yang akhirnya melahirkan suku Bulungan ini.
Datu mencang yang memimpin suku bulungan ini bergelar Ksatria Wira (1555 – 1595) , sejak itu islam berkembang di daerah ini yang pusat pemerintahannya di Busang Arau. Datu Mencang ini kemudian menikahkan anaknya yang bernama Kenawai Lumu dengan bangsawan Kesultanan Sulu, Philipina Selatan, dan kemudian menyerahkan kekuasaan kepada menantunya Singa Laut (1595 – 1631) .
Selanjutnya dari sinilah kekuasaan kesultanan di bulungan ini berlangsung secara turun temurun. Berturut-turut kemudian diperintah oleh Wira Kelana . Kemudian pucuk pimpinan dilanjutkan Wira Digedung , yang semasa kepemimpinannya berhasil memindahkan pusat pemerintahan dari Busang Arau ke Limbu (Long Baju).
Masa Kesultanan Bulungan
Setelah itu pucuk pemerintahan kemudian diserahkan kepada Wira Amir , pada masa inilah pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Limbu (Long Baju) ke Salim Batu , yang kemudian merubah sistem pemerintahan suku menjadi kesultanan. Sultan pertama adalah Wira Amir yang bergelar Sultan Amiril Mukminin (1731 – 1777).
Sesudahnya, pemerintahan digantikan oleh Aji Ali yang dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Alimuddin (1777 – 1817) , di masa inilah pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke tanjung palas, sedangkan salim batu sebagai lahan persawahan.
Tahun 1817 , pemerintahan Aji Ali digantikan oleh Aji Muhammad yang bergelar Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin , yang memerintah hingga Tahun 1861 . Setelah itu merasa dirinya sudah tua sultan mengundurkan diri dan digantikan puteranya yang bernama si Kiding bergelar Sultan Muhammad Djalaluddin (1861 – 1866) .
Mangkatnya Sultan Muhammad Djalaluddin , pemerintahan kesultanan kemudian diambil alih oleh Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin , ayah Sultan Muhammad Djalaluddin yang tidak ingin merelakan pemerintahannya jatuh ke tangan Datuk Alam yang merupakan ulama yang banyak pengikut. Datuk Alam adalah putera Pangeran Maulana , tapi dari lain ibu.
Meski begitu pada akhirnya Datuk Alam berhasil menjadi sultan dengan gelar Khalifatul Alam Muhammad Adil yang hanya memerintah kurang lebih dua tahun (1873 – 1875) , dari sultan inilah Mesjid Jami Tanjung Palas direnovasi, dan juga membangun istana II di sebelah hilir istana I.
Penggantinya adalah Ali Kahar yang bergelar Sultan Kaharuddin II , ia bertahta mencapai 14 tahun dan mangkat tahun 1889 . Penggantinya Sultan Azimuddin yang berkuasa lebih kurang 10 tahun (1889 – 1899) .
Setelah itu pemerintahan kesultanan sempat dipegang oleh Puteri Sibut (Pengian Kesuma) yang memerintah sekitar 3 tahun dengan dibantu oleh perdana menterinya, oleh karena putera sultan yang tertua Datuk Belembung umurnya belum memenuhi persyaratan menjadi sultan, sehingga kesultanan dipegang oleh Pengian Kesuma .
Tepatnya Tahun 1901 Datu Belembung dinobatkan menjadi sultan yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din Atau Sultan Kasimuddin . Beliau mangkat tahun 1925 , yang kemudian kekuasaan kesultanan diserahkan kepada pemangku sultan yang bernama Datuk Mansyur (1925 – 1930) . Setelah itu diangkatlah Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931) , ia meninggal mendadak. Pengganti Sultan Muhammad Sulaiman adalah adiknya yang bernama Datuk Tiras yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin .
Dimasa pemerintahan Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin pada upacara 17 Agustus 1949 , sultan memimpin upacara pengibaran bendera merah putih yang pertama kali di halaman Istana Sultan Bulungan .
Melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 Kedudukan Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja . Keputusan gubernur ini disahkan dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953 .
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1955 wilayah Kesultanan Bulungan ditetapkan menjadi Daerah Istimewa , Sultan Maulana Djalaluddin diangkat menjadi Kepala Daerah Bulungan Pertama sampai dengan akhir hayatnya di Tahun 1958 . Pada tahun 1959 melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 Status Daerah Istimewa Diubah Lagi Menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan , dan Bupati pertamanya adalah Andi Tjatjo Datuk Wiharja (1960 – 1963) adik ipar Sultan Maulana Djalaluddin . Sejak itu pula pusat pemerintahan dipindahkan dari Tanjung Palas ke Tanjung Selor hingga sekarang ini.

Tidak ada komentar: